Oleh
Dr. Wendy Melfa, SH., MH.
Direktur Badan Saksi Nasional PG Wilayah Lampung
Pengasuh Ruang Demokrasi (RuDem)
MEKANISME DEMOKRASI
Pemilu adalah mekanisme demokrasi lima tahunan yang salah satu fungsinya adalah sebagai alat sirkulasi pemerintahan, lembaga yang merupakan kumpulan orang-orang hasil seleksi dari pilihan kita, yang kemudian mendapatkan delegasi untuk kita beri kewenangan sebagai pembawa sekaligus memperjuangkan aspirasi mewakili kita, membantu dan melayani kita, bahkan mengatur dan menata kehidupan kita dalam bentuk aturan (regulasi), mereka hadir dan mendapat legitimasi dari kita sebagai pihak menjalankan fungsi pada bidang eksekutif dan legislatif, dan inilah esensi dari yang disebut mekanisme demokrasi.
Sedemikian strategis dan “mulia”-nya peran pemerintah dalam tata kelola kehidupan suatu bangsa, walau dalam perjalanannya terkadang ada saja “tampilan” dan kerja mereka yang tidak sesuai dengan harapan, mengecewakan, bahkan terkadang ada yang dianggap merugikan dari perspektif manfaat kepentingan orang banyak, padahal mereka berasal dari kita. Pada titik inilah perlunya dipahami dan dibangun apa yang disebut kompetensi, yang dimaknai sebagai kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan atau melaksanakan pekerjaan yang dilandasi pengetahuan (ilmu), keterampilan, dan sikap untuk bekerja pada bidangnya.
MERAWAT MERITOKRASI
Mekanisme ketatanegaraan kita, dipimpin dan dikelola oleh orang yang pengisian jabatannya baik eksekutif maupun legislatif dari rangkaian proses Pemilu, dari sanalah akan melahirkan visi, yang kemudian akan disusun dalam RPJM nasional/ daerah, selanjutnya diterjemahkan dalam program pembangunan, yang selanjutnya diimplementasi dan berdampak pada masyarakat kita, yang muaranya pada pemenuhan kebutuhan masyarakat untuk peningkatan kesejahteraan. Demikian alur “benang merah” dan sirkulasi dari kedaulatan rakyat – demokrasi – kesejahteraan rakyat.
Meritokrasi (Young/ 1958): suatu sistem sosial dimana pekerjaan, dan kekuasaan diperoleh berdasarkan prestasi, yaitu kecerdasan dan usaha. Sebuah konstruksi sosial yang relevan apabila dikaitkan dengan kepemimpinan birokrasi pemerintahan baik pada lapangan eksekutif maupun legislatif yang dihasilkan dari proses Pemilu, bahwa pemimpin yang dihasilkan dari pilihan rakyat melalui Pemilu adalah orang-orang pilihan yang kompeten, berdasarkan pengetahuan (dapat diukur dari ketajaman visi dan konsep), keterampilan, kecerdasan, dan usaha.
Membangun dan menjaga atmosfer “meritokrasi” dalam konstruksi sistem sosial membangun Indonesia, adalah komitmen dan tanggungjawab kita bersama, oleh karena itu mutlak harus kita usahakan bersama, kita membangun, kita yang merawatnya, kita yang menentukannya, dan kita juga lah yang akan “menikmati” hasilnya, orang bijak berkata: hasil tidak akan mengingkari proses, proses akan jujur dan setia pada hasil. Dalam konteks inilah, sejatinya proses dan kewenangan seleksi itu ada pada kita, jika kita mau bijak, awal hadirnya kekuasaan pemimpin itu dari tangan kita sendiri, yang merupakan ejawantahan hak memilih yang diberikan oleh negara, tidak bijak dan hati-hati dalam memilih (proses), maka akan menghadirkan pemimpin (asal pilih), yang kemudian melahirkan kebijakan dan program tidak untuk kita (hasil), ada banyak faktor penyebabnya, satu diantarnya karena pemimpin yang tidak kompeten itu tadi.
Ada banyak pemimpin populer yang hadir dari proses demokrasi, Presiden Soekarno, Soeharto, BJ. Habibie, Soesilo Bambang Yudhoyono, Jokowi, juga ada banyak pemipin setingkat daerah, mereka hadir sebagai pemipin yang terbilang kompeten, punya visi dan konsep, bekerja keras hingga sampai pada posisi kekuasaan, dan bukan karena “uluran tangan” pendekatan keturunan, anak kandung siapa, anak keponakan siapa dan lain sebagainya yang menggunakan “sentimen” dukungan ical-icak nama populer, padahal ini adalah bagian upaya hanya sekedar untuk “menghipnotis” kita agar menyalurkan aspirasi dan pilihan politiknya dalam pemilu, ingat bahwa hasil tidak akan mengingkari proses. Bila kita yang mengklaim sebagai warga yang berpendidikan dan sadar politik, masih juga terhipnotis dengan bumbu nama populer dibalik calon pemimpin tanpa memperhatikan kompetensi, visi dan konsep sang calon pemimpin, maka kita adalah orang yang belum melek politik dan masih menggadaikan sirkulasi demokrasi yang tidak bermuara kepada kebaikan dan kesejahteraan orang banyak, hanya demi kesenangan sesaat.
Merawat sistem meritokrasi dalam bangunan pemerintahan dan birokrasi juga sangat relevan dengan sistem Pemilu kita yaitu sistem proporsional terbuka, dimana pemilih diberikan kebebasan dan keleluasaan untuk menentukan pilihan serta menyerahkan hak keterwakilannya kepada orang yang dianggap pantas, ikhtiarkan lah itu dengan semangat “mencari dan memilih” yang terbaik, yang harapannya bisa juga tampil dan berbuat yang terbaik untuk kita dengan cara memperhatikan kompetensinya, visi dan konsepnya, karya dan kerja-kerjanya, bila kita sudah lakukan itu, setidaknya kita telah berusaha untuk menyebar kebaikan, fastabikul khairat untuk kemaslahatan orang banyak, bukan karena pengaruh “hipnotis” sesaat, karena apa yang kita lakukan sebagai proses itu akan jujur dan setia pada hasilnya. (*).