
Harry Kane dan Manchester United adalah sebuah cerita transfer yang tak pernah usai—impian lama yang tak pernah terwujud. Striker Inggris itu adalah jaminan gol yang dicari-cari Old Trafford selama bertahun-tahun.
Seorang mantan pelatih Manchester United baru-baru ini menyuarakan sentimen tersebut dengan cara yang ekstrem, mengklaim bahwa ia “rela memotong satu tangannya” jika itu berarti bisa membawa Harry Kane ke Old Trafford di masa jayanya.

Hasrat ini bisa dimengerti. Kane adalah definisi dari “pembelian jadi”. Namun, seiring kita menatap jendela transfer musim panas 2026, striker Bayern Munich itu, yang akan berusia 33 tahun, justru mewakili segala sesuatu yang coba ditinggalkan oleh Manchester United di bawah era baru Rúben Amorim.
Meskipun sang mantan pelatih rela mengorbankan segalanya demi Kane, inilah mengapa Amorim hampir pasti tidak akan melakukan langkah transfer tersebut.
1. Antitesis Filosofi Amorim
Alasan paling mendasar adalah filosofi. Rúben Amorim didatangkan dari Sporting CP dengan cetak biru yang jelas: membangun sistem kolektif yang menuntut energi tinggi, pengembangan pemain muda, dan loyalitas pada taktik di atas segalanya.
Amorim tidak membeli superstar; dia membuatnya.
Menghabiskan dana besar (baik biaya transfer maupun gaji selangit) untuk seorang pemain berusia 33 tahun adalah kebalikan total dari filosofi Amorim. Itu adalah langkah “Man Utd lama”—sebuah kepanikan membeli nama besar untuk solusi jangka pendek, sebuah strategi yang telah terbukti gagal berkali-kali.
2. Berakhirnya Era Blunder Jangka Pendek
Di bawah struktur kepemimpinan baru, Manchester United (saat ini di tahun 2025) sedang berusaha keras untuk menghentikan siklus pembelian mahal yang tidak memiliki nilai jual kembali. Kasus-kasus seperti Casemiro atau Raphaël Varane menjadi pelajaran mahal.
Pada tahun 2026, Kane akan memasuki senja kariernya. Merekrutnya akan menjadi pengulangan kesalahan yang sama persis: mengikatkan diri pada gaji masif untuk seorang pemain yang hanya akan memberikan kontribusi satu atau dua musim di level puncak, sebelum nilainya di pasar menjadi nol. Pragmatisme finansial era baru tidak akan mengizinkan hal ini.
3. Ketidakcocokan Taktis dengan Sistem 3-4-3
Di Sporting, Amorim meraih sukses dengan striker seperti Viktor Gyökeres—seorang penyerang yang kuat secara fisik, cepat, dan menjadi mesin pressing tanpa henti. Sistem 3-4-3 (atau 3-5-2) milik Amorim menuntut penyerang tengahnya untuk memimpin tekanan, berlari ke saluran, dan meregangkan pertahanan lawan.
Meskipun Harry Kane adalah salah satu pengumpan dan penyelesai akhir terbaik di dunia, permainannya telah berevolusi. Ia lebih sering turun sebagai “nomor 10” atau playmaker ketimbang seorang penyerang murni yang menekan.
Amorim kemungkinan besar akan lebih memilih menginvestasikan dana tersebut pada striker berusia 23 tahun yang “lapar” dan bisa ia bentuk agar sesuai dengan sistemnya selama delapan tahun ke depan, bukan seorang legenda untuk dua tahun.
4. Fokus pada Generasi Berikutnya
Kebangkitan United di bawah Amorim (secara hipotetis) didasarkan pada kepercayaan pada talenta inti yang lebih muda. Dengan pemain seperti Kobbie Mainoo, Alejandro Garnacho, dan Rasmus Højlund yang terus berkembang, fokus klub telah beralih ke pembangunan internal.
Mendatangkan Kane akan secara efektif menghalangi jalur pemain seperti Højlund atau penyerang muda lainnya yang sedang dikembangkan. Ini akan mengirimkan pesan yang salah kepada skuad—bahwa pada akhirnya, klub akan selalu beralih ke solusi eksternal yang mahal daripada memercayai proses.
Kesimpulan
Keinginan mantan pelatih itu untuk mendapatkan Kane adalah cerminan dari rasa frustrasi bertahun-tahun, sebuah kerinduan akan jaminan gol. Namun, Manchester United versi Rúben Amorim tidak lagi mencari jaminan jangka pendek.
Mereka sedang membangun sebuah mesin yang berkelanjutan. Harry Kane, terlepas dari kehebatannya, adalah suku cadang dari era yang berbeda. United akhirnya telah melangkah maju, dan Amorim tidak akan menoleh ke belakang.

Pingback: Arogansi di El Clasico: Vinicius Jr. Dicap 'Memalukan'